Cerita Ida & Jamil (Versi Ida)

Sebuah ruang kantor dengan berbagai kesibukan, suara mesin fax, printer, diskusi, pintu yang dibuka tutup, dan apalah itu kesibukan kantor yang bisa membuat waktu seakan melesat cepat tak terasa.

Tapi tentu tidak begitu bagi Ida. Baginya waktu seakan lambat merangkak. Menanti jam makan siang yang tinggal satu jam lagi saja, rasanya seperti setahun. Sudah kesekiankali telinganya dibuka lebar-lebar, bersiap mendengar langkah kaki siapa yang menuruni anak tangga. Tapi, ahh bukan orang yang diharapkan. Berkali-kali melirik anak tangga, sekelebat menangkap sosok bayangan, ternyata bayangan yang dilihat malah tidak jadi turun.

Oh dear, hati Ida resah sekali. Sama resahnya seperti saat menanti ibunya ketika mengambil rapor sekolahnya dulu. Siapalah anak sekolah yang tidak resah ketika pengambilan rapor. Kalau hasilnya bagus tidak masalah, kalau merah semua?

Begitulah hati Ida kini. Harap-harap cemas, antara penasaran kenapa separuh hatinya tidak nampak juga, bercampur dengan bingung bersikap jika Jamil, pangerannya, benar-benar turun dari lantai dua. Kalau anak sekarang menyebutnya, galau. Mana dia? Berkali-kali tanya Ida dalam hati. Apa tidak turun makan siang? Apa tidak ingin mengisi air mineral? Apa tidak menyerahkan berkas ke lantai satu? Dan apakah-apakah lainnya pun menyusul.

Ahh, berjuta tanya meringsek masuk memenuhi hati dan pikiran Ida. Pekerjaannya tidak kunjung selesai dari tadi. Bagaimanalah dia akan konsentrasi kerja, jika sedetik pun dia belum melihat wajah pujaan hatinya hari itu.

Sesaat kemudian, dalam sepersekian detik, mata Ida melihat bayangan yang akan mendekati tangga, sepertinya hendak ke lantai satu. Hati Ida bahagianya bukan main. Telinganya dipasang benar-benar, memperhatikan, memastikan itu langkah kaki Jamil. Akhirnya, setelah setengah hari galau full diterkam waktu, pangerannya turun juga. Langkah kaki Jamil terdengar begitu gagah ditelinga Ida. Membuat jantungnya berdegub kencang, tangannya dingin, salah tingkah sudah Ida.

Ida berusaha terlihat tenang. Cepat-cepat membenarkan posisi duduknya, tatanan rambutnya, bajunya, dan tentu saja tidak lupa dia mempersiapkan wajah paling berseri lengkap dengan senyum paling manis untuk menyapa Jamil ketika lewat di depan mejanya.

Kalian tau rasanya? Seperti menunggu detik-detik gol dicetak. Atau seperti menanti hasil Pemilu. Semakin lama langkah Jamil mendekat, bayangannya semakin jelas terlihat. Dada Ida semakin berdetak kencang, keringat dingin sudah mengucur deras. Dan ahh ya, andai bisa kita lihat bagaimana hatinya. Duhai beginilah orang yang sedang jatuh cinta, akan berubah ajaib sekali. Jika sikapnya bisa dibuat senormal mungkin, coba intip hatinya, coba cek tekanan darahnya, rasanya dada ini kebat-kebit, salah tingkah, tensi akan naik berlipat, detak jantung berdetak lebih cepat. Lucu sekaligus indah, bukan? Begitu pula dengan Ida.

Dan ketika Jamil sudah persis di depannya. Persis hanya berjaral 30 centi dari mejanya. Dilemparlah senyum manis yang sudah disiapkan sedari tadi. Dihadiahkan wajah berseri untuk tambatan hatinya. Tapi oh dear, malang nian nasib Ida siang itu. Jamil, lelaki yang membuatnya galau sedari tadi tak sedetik pun berhenti di depan mejanya. Melirik saja tidak. Hanya lewat saja, menyerahkan berkas kerja di meja lain, lalu bergegas kembali ke lantai atas. Cepat sekali. Tak ada kata, tak ada sapa.

Seperti baru saja melihat hantu, Ida terdiam, kaku. Nelangsa sekali rasanya. Lelaki yang beberapa menit lalu membuat dirinya menjadi ajaib, membuat hatinya resah, kebat-kebit tidak keruan, deg-degan, dan apalah itu serentetan galau. Ternyata bersikap biasa sekali, tidak ikut-ikutan ajaib, bahkan menganggap kehadirannya pun tidak. Hanya lewat lalu pergi. Kecewa, lemas rasanya mendapati harapannya berlalu begitu saja, bagai debu ditiup angin.

Ida tertunduk. Kembali menatap kosong layar komputernya. Berpura-pura baik-baik saja, sedang sibuk bekerja. Berusaha bersikap normal, tidak lebih ajaib. Tapi duhai, jika sekali lagi kalian bisa mengintip hatinya, bisa mendengar tangis hatinya, bisa merasakan luka kecewa barusan. Bagai kapal Titanic yang baru saja menabrak gunung es. Remuk sudah. Ida berkali-kali memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh sekali. Kenapa harus berharap sapaan, kenapa harus bersikap ajaib.

Ahh ya, selalu begitu. Kebanyakan kita selalu membenarkan apa yang dilihat mata dan apa yang dirasa saat itu. Buru-buru sekali memutuskan sesuatu, menganggap sesuatu berdasarkan versi pandangan kita sendiri. Merasa paling benar, yang akhirnya menyakiti diri sendiri. Padahal boleh jadi, ada hal baik yang tersembunyi dibalik sebuah kejadian, sikap, perkataan, dan hal lainnya, hanya saja belum terlihat.

Siang itu, sungguh Ida tidak napsu makan siang.

4 thoughts on “Cerita Ida & Jamil (Versi Ida)

  1. Hikmah dari kisah ini adalah apa yang kita anggap baik belum tentu baik, demikian sebaliknya ya nduk. Oleh karena itu kita harus menyikapi sebuah keadaan dengan bijak dan tak terburu-buru menilai dan memutuskannya
    Salam hangat dari Surabaya

    Like

Silahkan Berkomentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s