Trailer Buku Kedua Saya


kopi susu

Mungkin terlambat kalau membuat video trailer buku kedua saya ini. Tapi apalah artinya terlambat jika nyatanya masih sempat. Buku ini sudah terbit setahun lalu, dan video trailernya menyusul satu tahun kemudian. Diterbitkan oleh penerbit indie, NulisBuku. Tonton trailernya dan beli bukunya.

Kopi Susu adalah buku kedua yang merupakan kumpulan tulisan dari blog pribadi saya. Cover dan ilustrasinya dibuat oleh teman sekantor saya. Memiliki 27 Cerita tentang jatuh cinta dan patah hati. Jika kalian mau beli bukunya, lihat dulu videonya. Kemudian boleh diputuskan ingin membeli, membaca, dan menyimpan Buku Kopi Susu. Klik disini:  NulisBuku.com

Selamat menikmati…

“Book Trailer Kopi Susu”

Ini Kisah Saya [Bagian 1] – Patah Hati Cerita Dari Hati


“Hati ini seperti tidak pernah lelah mencari.  Dulu. Setelah lelah, kini hanya berani menanti. Menanti dan mencari. Sebuah jawaban atas sebuah keresahan yang belum ada jawabnya.”

Jika narablog yang sering membaca posting saya dulu, sekitar hampir satu tahun yang lalu, kebanyakan tulisan-tulisan yang saya posting adalah postingan galau. Iya, setahun lalu ketika saya patah hati, rasanya langit selalu mendung, udara selalu dingin membuat saya menggigil, dan hujan rasanya turun teramat deras, membuat hati lebih sendu.

Setahun ini, saya selalu berharap. Kisah saya yang setahun lalu adalah kisah terakhir yang terluka. Dan kemudian hari, tidak akan ada luka-luka lain yang menyusul, berlari, kemudian dengan khitmat menari-nari di depan saya. Semoga. Amin.

Ini adalah kisah saya ketika jatuh cinta sekaligus patah hati. Ada tiga kisah. Dan ketiganya sama-sama jatuh cinta dan patah hati. Semoga cukup tiga ini saja, dan saya tidak perlu patah hati lagi, cukup jatuh cinta saja. Percaya atau tidak, ketiga orang yang hadir dalam hati saya ini, semuanya lahir pada tanggal yang sama, 16.

Ini kisah saya yang pertama.

Kisah ini terjadi ketika saya masih kuliah, kalau nggak salah ketika saya semester 6. Saya ingat sekali, saat itu saya masih magang menjadi wartawan di salah satu surat kabar di Surabaya. Dan saat itulah saya serius jatuh cinta untuk pertama kali. Pria ini lahir pada tanggal 16 Juni. Saya kuliah dijurusan Ilmu Komunikasi di UPN, dan dia kuliah dijurusan Akuntansi di universitas yang sama.

Saya tidak pernah percaya pada yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama, karena memang saya jatuh cinta pada dia tidak pada pandangan pertama. Saya merasakan cinta itu setelah tiga tahun saya kenal dengan dia. Laki-laki yang berparas tampan, berbadan six pack, dan berkulit putih. Tapi yang terpenting adalah dia baik hatinya. Baik sekali. Dia adalah orang yang sangat baik, suka membantu temannya, dan nggak tegaan. Pokoknya sosok manusia baik.

Sampai suatu saat, ketika saya sedang ribut dengan seorang teman, saya lebih memilih untuk pergi ke kampus. Menenangkan diri. Karena saya tau, ketika malam datang, kampus lebih sepi, terlebih dibagian UKM.

Disana saya bertemu dengan si 16 Juni. Dia menyapa saya, mendekat, dan bertanya

“Kamu kenapa? Kok disini malam-malam?”

“Nggak pa-pa” jawaban bohong banget. Yang pastinya semua orang tau.

Dan malam itu, dengan sangat baik. Dia menemani saya dikampus sampe saya beranjak pulang. Disana cerita macam-macam, sampe bikin saya ketawa. Dan dia benar-benar nggak mau pulang, kalau saya belum pulang, karena dia nggak mau ninggalin saya sendiri.

Disitulah saya mulai jatuh cinta. Saya merasa seperti menemukan seseorang yang bener-bener baik hatinya. Dan disinilah kesalahan saya dimulai. Saya membiarkan perasaan saya mengalir begitu saja, menyimpan dalam-dalam, jangan sampai ada orang yang tau. Tapi mungkin secara tidak sadar, saya karena sedang dimabuk cinta memperlihatkan rasa cinta saya. Mungkin perhatian. Mungkin lho, karena saya juga nggak nyadar.

Sampai suatu saat, di bawah matahari yang terik. Di tempat yang sama seperti malam itu, dia menanyakan perasaan saya ke dia.

“Emang kamu jatuh cinta sama siapa?”

“Rahasia, donk!”

“Aku?”

Ketika dia mengatakan kata ‘aku’ tadi, saya terdiam. Mau mengiyakan itu takut, mau tidak jujur itu memang dia. Sampai akhirnya saya pilih mengaku. Tapi tidak dengan cara mengatakan “Aku mencintaimu”, tapi hanya berkata “Iya” yang dibarengi dengan anggukan.

Hhhh.. ternyata menceritakan masa lalu itu masih menyakitkan ya? Hehe

Iya, siang itu saya mengatakan iya. Sekian detik dia juga ikut diam. Mungkin speachless, tidak tau harus berkata apa. Sekian menit berlalu dia masih diam. Sampai akhirnya dia mengatakan…

“Maaf, tapi aku nggak begitu.”

Tiba-tiba ada petir menyambar-nyambar dengan ganas siang itu. Langit cerah sumringah, tapi mendung menggantung dihati saya, dan menutupi hampir seluruh bagiannya. Dan hari itu saya kecewa.

Beginilah kalau kita berharap pada manusia, maka hanya kecewa yang didapatkan. Sebenarnya hari itu saya merasa dicurangi. Karena ada seseorang yang tiba-tiba datang menanyakan perasaan saya, menanyakan hati saya yang sedang berbunga, kemudian setelah dia tau bagaimana bentuk hati saya, dia mengambil pisau dan melukainya dengan satu kali sayatan dalam. Dia curang. Karena dia hanya ingin memuaskan keingintahuannya, kemudian melukai saya. Padahal saya kan tidak minta jawaban, dia sendiri yang tanya, kemudian dia jawab sendiri.

Narablog tau rasanya? Sakit. Sangat sakit.

Tapi, itu adalah yang saya katakan pada waktu itu. Empat tahun lalu. Kalau sekarang, saya mengatakan..

Untung saat itu dia menanyakan perihal perasaan saya, dan menyayatnya seketika sehingga saya sadar, tidak ada cinta untuk saya darinya. Jika tidak, mungkin saya akan terus jatuh cinta dalam mimpi semu yang jelas tidak akan menyata. Karena Allah sayang sama saya tentunya.

Toh setelah itu, saya jadi bisa menulis cerita pendek tentang dia. Dua cerita malah.

Jika narablog ada yang memiliki buku saya berjudul “Aquanetta”, pasti akan menemukan dua cerita yang semuanya mengisahkan tentang dia. Judulnya ’16 Juni’ dan ‘Isi Hati’. Maksud saya adalah andai saja saya tidak mengalami kisah patah hati bersama si 16 Juni, mungkin tidak akan terlahir dua cerpen itu. Karena memang benar ternyata bahwa Kesedihan adalah sumber kreativitas terbaik. Asal dikelola dengan baik.

Itu hanyalah masa lalu yang coba saya ceritakan lagi. Jadi diambil hikmahnya saja. Sekarang, mas 16 Juni itu sudah menikah dengan pacarnya. Agustus 2013 lalu sepertinya. Semoga dia selalu bahagia ya.. menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah. Dan saya bisa segera menyusul dia. Amin.

Dan kalau mau pesen buku saya yang berjudul ‘Aquanetta’ bisa dipesan di nulisbuku.com. Monggo, Cuma Rp 44.000. Eh jadi promosi nih…

Mau tau kisah saya lainya? Silahkan baca di posting ‘Ini Kisah Saya [bagian dua]’ ya….

Cerita Ida & Jamil (Ending)


Harusnya sekarang Ida berada di lantai paling atas kantor, merenung, menyesapi senja, merasakan hangatnya, merindukannya yang sudah pergi menghilang terlalu lama setelah resign. Namun tidak kali ini, rintik gerimis romantis merebut hampir seluruh awan,  menguasai rutinitas matahari yang selalu datang menepati janjinya untuk berpendar tenggelam perlahan. Sore ini matahari terpaksa bersembunyi.

Lamunan Ida buyar. AC ruangan kantor berdesing, ada yang menekan tombol  off. Bahkan Ida tidak merasa kedinginan meski berada dalam ruang AC dengan keadaan gerimis di luar sana. Ida melamun terlalu lama, terlalu dalam, terlalu sepi didalamnya.

“Mbak Ida, nggak pulang? Yang lain udah pada pulang lho, Mbak.” Seorang Office Boy yang hendak membersihkan ruangan menyapa.

“Iya, habis ini.” Tersenyum. Bergegas membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.

“Mbak Ida nggak datang ke pernikahannya Mas Jamil?”

Hening. Ruangan ini tiba-tiba terasa amat hening. Ida hanya tersenyum. Mematikan komputer, kemudian bergegas keluar ruangan. “Saya pulang dulu ya, Mas. Meja saya nggak usah diberesin, udah beres kok.”

“Hati-hati, Mbak.”

“Yuk” , Jawab Ida singkat, bergegas.

Ida berhitung cepat di dalam lift yang juga dengan cepat meluncur ke loby. Berhitung apa? Berhitung apakah sebaiknya dia datang ke pernikahan Jamil, atau lebih baik dia bergegas pulang, mengistirahatkan badan, pikiran, dan hati.

Dia tetap berhitung di tengah loby, kembali berhitung di parkiran kantor, di atas mobil. Terus berhitung, menimbang. Harus dibelokkan kemana setir ini. Ke arah rumahkah? Ke gedung pernikahankah? Atau  ke taman kota? Tempat Ida dan Jamil dulu pernah duduk bersama, kehujanan, lalu berteduh di sana. Atau ke toko buku? Tempat nyaman yang pernah dikunjungi mereka berdua. Atau, pikiran Ida melayang ke sebuah Kebun Raya yang tempatnya cukup jauh dari Kota dia berpijak sekarang. Tempat pertama yang dia dan Jamil kunjungi ketika untuk pertamakalinya mereka pergi berdua.

Pandangan Ida kabur, matanya sudah berair. Cepat sekali semua kenangan itu bermunculan satu per satu. Seperti ada yang usil membuat slide photo-photo tentang mereka. Entah masih dalam kondisi baikkah dia mengendalikan mobil.  Entah masih adakah separuh hatinya kini.

Oh Dear, kalian pernah merasakan patah hati? Ketika hati yang sedang jatuh cinta kemudian dilemparkan begitu saja dari ketinggian. Hancur berkeping-keping tak bersisa secuil pun. Tak menyisakan dinding utuh seditik pun. Atau ketika separuh hati kalian tiba-tiba terasa tercabik dan hilang, karena seseorang yang sudah kalian cintai mati-matian ternyata hilang begitu saja, diam seribu bahasa, entah kemana. Seperti itulah Ida sore ini. Dan ketika seseorang itu kembali, hanya untuk mengabarkan bahwa dia akan memiliki hidup yang baru bersama orang lain. Ida benar-benar menangis sekarang. Air matanya sudah tidak bisa ditahan lagi seperti dulu ketika Jamil cuek sekali di depan meja kerjanya.

Mobilnya berhenti tepat di depan gedung pernikahan Jamil sekarang digelar. Cahaya lampu terpancar terang, kemeriahannya terdengar sampai luar gedung, hiasan janur kuning melengkung apik di depan gerbang gedung. Gerimis sudah reda, namun senja tetap tak muncul. Sudah terlambat. Sudah lewat waktu senja. Sore ini senja tidak menepati janjinya untuk berpendar jingga kemudian tenggelam, sore ini senja tidak pernah datang.

Ida? Apa dia akan seperti senja? Tidak usah datang. Mungkin lebih baik tidak pernah datang. Biarlah semuanya berlalu tanpa pesan. Biar semua berakhir tanpa jeda. Hanya titik, lalu habis.

Namun tidak bagi Ida. Dia tidak ingin seperti senja yang tak datang sore ini.  Dia tidak akan membuang kesempatan terakhirnya untuk melihat Jamil di depan sana. Dia tidak akan menyia-nyiakan sedikit waktu hari ini untuk menangis sepanjang malam, tanpa menyaksikan Jamil  tersenyum bahagia.

Ida melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung. Menguatkan apapun yang dia miliki saat itu. Berdiri di tengah ruangan yang super megah, diantara tamu-tamu yang sedang menyantap hidangan, diantara wewangian melati yang semerbak. Tersenyum menatap Jamil yang betapa bahagianya di depan sana, bersanding dengan wanita pilihannya, bermandikan selamat dari ribuan undangan. Air matanya menetes. Tersenyum.

‘Selamat, Mas Jamil.’ Gumamnya dalam hati,

Kalian tau, dear?  Jika memang ada separuh hati kita yang remuk, berdarah-darah, dan hancur sekalipun. Selalu ingat, bahwa kita masih memiliki separuh hati lain yang bisa kita kendalikan, yang bisa kita buat lebih bercahaya, kita buat lebih kuat. Karena dengan begitu, ada perasaan lega yang ada seketika. Dari mana rasa itu? Tentu dari Sang Maha membolak-balikkan hati.