Ini bukan tentang aku marah karena kau terlambat datang malam itu. Jika kau tau bagaimana genderang kecemasan dimainkan dalam hatiku. Ketika petir kian ganas menyambar, hujan yang rintiknya turun tanpa sanggup tertahan, dan kau, satu helai rambut pun belum terlihat.
Malam itu, di atas tanah basah dan di antara angin dingin, kepalaku berkali-kali melongok ke ujung jalan setiap ada deru motor yang terdengar. Berkali-kali berharap itu kau, datang dengan berkerubut jas hujan yang basah kuyup. Tapi aku salah, itu bukan kau. Hanya orang lewat.
Setengah jam berdiri, punggungku sudah basah terkena tampias hujan. Kawanku sudah sedari tadi berteriak menyuruhku menunggu di dalam, aku menggeleng. Bagaimana bisa aku tenang menunggumu di dalam rumah, jika sampai detik itu tak satu pun pesanku yang kau balas? Bagaimana bisa aku menghangatkan diri di dalam rumah, jika sampai detik itu aku yakin kau pasti sedang kedinginan.
Rasaku ini boleh jadi berlebihan. Ahh, jika sekali saja Tuhan mengijinkan aku dan kau bertukar posisi, kau akan tau bagaimana hati ini cemas tidak keruan. Bagaimana tidak? Kau berarti untukku. Kau sudah mengambil separuh hatiku. Maka aku hanya ingin kau selalu dalam keadaan baik-baik saja. Itu saja. Apa itu berlebihan?
Ibu, sekarang aku tau bagaimana rasanya gundah dan resah ketika sampai larut ayah belum pulang. Berapa kali pun aku meminta ibu tidur, tak kan ada satu centi pun tubuh ibu beranjak dari depan pintu pagar. Bagaimanalah ibu bisa tidur nyenyak ketika satu bagian penting dalam hidup ibu belum juga datang.
Sama seperti aku semalam. Menungguimu. Tak kan pernah masuk dan duduk tenang di dalam rumah sebelum tau kau baik-baik saja. Meski sebenarnya aku tau, kau tak akan melakukan hal yang sama jika aku yang saat itu tak kunjung datang. Tak mengapa, malam itu aku sungguh mencemaskanmu.
Andai hujan semalam mampu bercerita, pasti kau akan mendengar dongeng tentang hati yang resah. Resah karena menunggu, resah akan sebuah kedatangan.