Before Us – Cinta Di Belakangmu

Tadi malam, saya baru saja selesai membaca buku ini. Saya bahkan sudah lupa, bulan apa buku ini dengan sangat rapi terbungkus dalam kertas coklat, tergeletak di atas tempat tidur, dan ketika saya pulang kerja, saya benar-benar girang membuka bungkusannya, mata berbinar-binar mengetahui isinya, segera mengambil ponsel dan mengirimkan, “Mas, bukunya udah sampai dengan selamat sentosa, terimakasih.” Tidak lupa icon senyum diakhir sms.

Iyes, itu kejadian beberapa bulan lalu, ketika pertama kali buku ini sampai di tangan saya. Maafkan Mas Robin, saya baru benar-benar membacanya seminggu terakhir. Benar-benar membalik bab demi bab seminggu terakhir, benar-benar merasakan emosinya seminggu terakhir, bahkan saya sempat emosi sama mas Robin tentunya seminggu terakhir ini. Lho kok bisa? Ya, nanti saya jelaskan.Saya ini punya kebiasaan jelek dan sangat tidak patut ditiru, yaitu meninmbun buku. Ketika satu buku datang, kemudian belum selesai dibaca, datang satu buku yang lain, kemudian datang lagi, lagi, lagi, dan lagi, dan sampai akhirnya, buku ini tersimpan rapi bersama buku yang masih tak terjamah lainnya. Maafkan ya Mas Robin.

Well, sudah selesai minta maafnya. Sekarang biarkan saya bercerita tentang buku yang seminggu terakhir memporak-porandakan emosi saya. *halahhh lebay. Ya, tapi beneran, ketika mengulang membaca buku ini dari awal, ada kenangan lama yang menelisik, kemudian mengganggu malam-malam saya.

BEFORE US – Cinta Di Belakangmu”

Kisah ini diawali dengan flashback. Agil Aditama, tokoh utama dalam novel ini, pagi itu dia hendak melangsungkan pertunangan dengan seorang gadis yang tidak pernah dia duga akan menjadi separuh jiwanya, Ranti nama gadis itu. Agil bukan seorang yang pandai memutuskan, bahkan memakai kemeja warna apa untuk acara pertunangannya harus Kak Demas, kakak Agil yang memutuskan.

Acara pertunangan berjalan lancar, meski diliputi perasaan gugup, karena memang baru pertama kali bertunangan.  (*Ya iyalah ya, jangan sampe tunangan berkali-kali (ABAIKAN) ). Cincin sudah disematkan dijari masing-masing, tanggal sudah ditentukan, rencana sudah disusun matang, tinggal mencicil persiapan. What else? Tinggal menunggu Hari H saja.

Sampai pada ketika Agil dan Ranti sedang berlibur di Pulau Umang. Disebuah pagi, ketika setiap manusia memulai hari, disinilah Agil memulai kembali kisah lamanya. Sebuah email masuk ke inbox Agil. Email yang mengejutkan, tak terduga, tak dinanya, sebuah email dengan berita kepulangan, seorang dari kisah lama kembali. Menawarkan sebuah pertemuan, lagi. Agil membalas email itu dengan suka cita, tanpa sadar Agil membuka jalan pulang, membuka semua awal cerita itu kembali.

Cerita lama itu benar-benar dimulai ketika Agil ke Bandung untuk urusan kerja. Dia menyempatkan diri untuk mampir ke rumah teman lama, lebih tepatnya kisah lama. Iya, Agil memutuskan untuk berkunjung ke rumah Radit.( Radit? Lho cowok? Iya cowok.)  Radit, si pengirim email yang mengabarkan kepulangannya dari Korea.

Seperti kebanyakan teman lama yang sudah lama tidak bersua, mereka melepas rindu, bercerita ini itu, tertawa mengingat masa lalu, dan benar, teringatlah masa lalu itu. Masa dimana mereka berdua, Agil dan Radit menjadi sahabat. Sahabat yang dekat, dan saking dekatnya, sampai-sampai kedekatan itu sudah tidak terdefinisi.

Agil merasakan ada sesuatu yang hilang ketika tidak ada Radit, dan begitu pula sebaliknya.( Jadi apa? Ya terserah kalianlah bilangnya apa.) Pokoknya begitulah kisah itu kembali. Mengisi lagi tiap detik yang Agil miliki, menyita tiap mimpi Agil di malam hari. Meski awalnya Agil berusaha menolaknya, berusaha untuk tidak jatuh lagi kedalam perangkap yang sama, toh akhirnya dia kalah. Larut dalam masa lalu, terlena dalam rasa, dan hanyut dalam rindu.

(Nah, sampai pada BAB ini. Saya PROTES. Saya nggak suka, marah. Hey ini maksudnya apa? Kok ceritanya gini? Lhoh kok Mas Robin bikin cerita begini, sih? Apa nih, norma dikalahkan dengan perasaan? Mengatasnamakan cinta di atas logika. What the…..???  Mengerutkan kening, menajamkan mata, padahal yang ditatap juga cuma buku. Benar-benar respon yang lebay. But I did it. Hehe.  Ya Allah. Saya tutup bukunya. Tapi beberapa menit kemudian, bukunya saya ambil lagi. Saya buka lagi, lanjut baca lagi. Ya sudahlah, saya lanjut membaca. Meski nggak terima sama jalan ceritanya. Penasaran. Dan ini yang saya suka dari Mas Robin, selalu bikin penasaran. Like That!!!)

Kisah Agil dan Radit terus berlanjut, dibelakang Ranti. Hingga Agil menemukan Radit sedang menggandeng seorang wanita, dia mengatakan ingin menikahi wanita itu. Mengakhiri kisah tentang mereka dan kembali kekehidupan normal yang seharusnya. Radit pergi tanpa kabar, dan Agil memilih keputusan awal, menikahi Ranti.

Empat tahun sudah Agil menikah dengan Ranti, mereka dikarunia seorang anak perempuan bernama Melanie.( Harusnya sebagai laki-laki dewasa yang bisa berpikir benar, seharusnya Agil bisa melihat mana jalan bahagia dan mana jalan yang bikin riweh.) Benar saja, Radit kembali muncul dengan segenap perasaan cintanya, segenggam rindu, dan sejuta kenangan. Dan Agil pun kembali tenggelam dengan perasaannya.

Meski tau bahwa masing-masing sudah sama-sama menikah, tapi mereka kembali kalah dengan perasaan.  Kembali menulis kisah lama, backstreet. Agil jadi sering alasan macam-macam sama Ranti, sering pulang larut, alasannya kerjaan. Tapi alasan sebenarnya adalah, Radit.

Hari berganti hari, dan masih sama. Agil masih menikmati perasaannya dengan Radit. Dan Radit mengatakan semua kalimat saktinya di appartement Agil ketika makan malam. “I wanna have a relationship with you”, “I turn back to you”, “I’m sorry for anything happened in the past”, “It will never be easy, to be far away from you”, dan dia bilang akan bercerai dengan istrinya. (Ya Allah, semoga ini hanya cerita dalam novel. Saya geli sekali ketika membaca kalimat-kalimat barusan. Seperti sungguhan gitu. Dan muncullah sebuah pertanyaan, apa iya mereka sesama jenis yang saling jatuh cinta, akan bersikap sampai sebegitunya? Like boy and girl, gitu?)

Tapi kali ini, saya suka dengan sikap Agil, dia menolak sebuah komitmen dengan Radit, dia menolak semua yang diinginkan Radit. Agil pergi meninggalkan appartement, meninggalkan Radit di dalamnya, dan tak sengaja bertemu Winnie, istri Radit, di meja resepsionis. Winnie mencari Radit.

Malam itu juga, Radit kembali ke Bandung bersama Winnie, tergesa, mengemas barang seperlunya, dan ke Bandung, menyelesaikan masalah yang tidak terselesaikan dengan baik. Hanya sehari, dan Radit kembali lagi ke Jakarta, menemui Agil, menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dan Winnie. Mereka bertengkar malam itu, dan Radit mtenceritakan tentang kisah mereka pada Winnie dan ibunya. Dan Agil, terkejut. Ada ketakutan ketika cerita mereka diketahui banyak orang. Agil dan Radit bertengkar. Dan Agil, sekali lagi memutuskan meninggalkan Radit.

Tapi toh keadaan tetap sama. Meninggalkan Radit dan kembali lagi pada Radit. Pagi setelah kejadian itu, Agil mendapat kabar kalau Radit kecelakaan. Agil bergegas ke Bandung, ke rumah sakit tempat Radit dirawat. Di sana ada Winnie. Seperti wanita kebanyakan yang merasa cintanya direbut, hatinya dilukai, Winnie tidak suka dengan kehadiran Agil. Tatapannya dingin, bicaranya angkuh. Winnie, tidak akan pernah membiarkan siapa pun mengambil Radit darinya.

Agil mencoba member penjelasan, (tapi ya percuma. Wanita mana yang mendengarkan penjelasan selingkuhan?) Winnie terus bersikap dingin pada Agil. Tak memberi ruang nyaman sedikit pun pada Agil di rumah sakit. Namun meski begitu, Agil tetap keukeuh setiap hari menjenguk Radit di rumah sakit, bahkan mengambil cuti untuk Radit.

Ditengah suasana dingin itu, seseorang menceritakan kisah Agil dan Radit pada Ranti. Sebagai wanita normal, Ranti merasa dikhianati. Dia berusaha menjadi yang terbaik untuk Agil, tapi semua percuma, bahkan orang yang dia cintai selingkuh dengan seorang laki-laki.

Ranti mencoba mencari tau kebenaran, dia bertanya pada Agil, tapi tak ada jawaban. Pagi itu Agil memutuskan segera pergi ke Bandung, ke rumah Radit. Mobilnya melesat jauh, meninggalkan Ranti memanggilnya dari kejauhan.

Hari itu, ketika Agil lebih memilih ke Bandung dari pada menjawab pertanyaan Ranti, Agil mendapati sebuah kehilangan yang sebenarnya. Sesampainya di sana, bukan disambut hangat, tapi Bunda Radit ikut mengibarkan bendera perang terhadap Agil. Perjalanannya sia-sia. Ibu mana yang rela anaknya menjadi ‘gay’? Ibu mana yang terima dibohongi dengan kedok sahabat yang ternyata “sahabat”. Dia tidak lagi diterima.

Agil pulang ke rumah, dan terjadilah pertengkaran di antara mereka. Sekuat apapun wanita, jika dilukai hatinya pasti sakit juga. Ranti memutuskan angkat kaki dari rumah, membawa serta Melanie, pulang ke rumah orangtuanya. Dan seketika mengalun lagu ‘Pulangkan saja aku pada ibuku, atau ayahku.’

Kali ini, Agil benar-benar merasakan sebuah kehilangan. Sebagai laki-laki dia merasa gagal. Lihat saja, kini semua menjadi kacau. Rumah tangga Radit, rumah tangganya. Tidak ada lagi yang percaya padanya. Berkal-kali dia mencoba menghubungi Ranti, tapi hasilnya NOL BESAR. Ranti tidak ingin berbicara dengan Agil. Dan saat itulah Agil sadar bahwa ketika kesenangan berganti dengan kehilangan, kita baru sadar kalau apa yang kita miliki terlalu berharga untuk ditukar dengan apapun.

Hidup Agil menjadi berantakan. Kurang tidur, makan hanya disaat lapar, sisanya hanya diisi dengan kopi. Dan Agil pun memutuskan untuk kembali ke rumah orangtuanya. Pikirnya, tempat terakhir yang bisa menerimanya kembali adalah rumah orangtua.

Disana, Agil merenung. Memikirkan banyak hal, menimbang ini dan itu. Menyadari bahwa apa yang dia lakukan bersama Radit sudah membuat hidup masing masing dari buyar. Dan saat itulah, Agil memilih.

Di Bab terakhir ini, diceritakan Radit masih sempat menghubungi Agil, memintanya untuk bertemu. Iya Agil kembali menemui Radit, tapi kali ini tidak untuk kembali. Agil benar-benar memutuskan untuk meninggalkan Radit. Benar-benar mengakhiri kisah ini tak bersisa, memperbaiki kerinduan yang sebenar-benarnya. Itu pilihannya. Tak ada kompromi, meski itu Radit.

Agil meninggalkan rumah Radit, kali ini dengan keputusan. Dan Agil mulai berusaha untuk berbaikan dengan Ranti. Tidak mudah.( Ya jelas, istri mana yang mudah memaafkan suaminya yang telah selingkuh, sama laki-laki pula. Tapi berkat usaha gigihnya, Ya akhirnya novel ini berakhir Happy Ending.)

Dan seperti biasa, Happy Ending tidak di dapat melalui Jalan tol, tetapi dengan jalan setapak, terjal, dan berliku.

-Demikian.

Itulah yang dapat saya ceritakan setelah membaca BEFORE US – Cinta Di Belakangmu. Satu quotenya yang bener-bener saya suka dari novel ini

Kadang kita harus memilih bukan karena kita menginginkan pilihan tersebut,
tapi hanya karena pilihan tersebut, segalanya akan lebih baik.”

Bahwa kita harus berani mengambil keputusan, bukan hanya berdiam diri menikmati keadaan. Membiarkan semuanya mengalir apa adanya tanpa sebuah kepastian, tanpa sebuah kejelasan, tidak akan pernah membuat keadaan membaik. Beranilah memilih. Pilihan dengan hati nurani.

Novel ini bagus. Kejutan. Saya kira awalnya si pengirim email itu perempuan, kisah lama itu perempuan, eh ternyata namanya Radit. Mas Robin berhasil mempermainkan emosi pembacanya, manajemen konfliknya jempolan, dan endingnya, Robin Wijaya selalu berhasil membuat sesuatu yang romantis. Emang Romantis? Ya baca aja sendirilah. Kalau buat saya sih, cara Agil mendapatkan kembali Ranti adalah hal romantis.

That’s it.

Image

3 thoughts on “Before Us – Cinta Di Belakangmu

  1. Hai Annisa, salam kenal!

    Saya termasuk tipe pembaca yg baca lumayan banyak novel bertemakan gay, hehehe; karya penulis indonesia yg saya baca antara lain; the sweet sins, jakarta love story, dan the secret of two suns

    Tadinya mau baca before us, tapi setelah baca ulasanmu disini, tidak jadi deh 🙂 ending seperti itu memang cocok dan masuk akal untuk cerita yg berlatar Indonesia karena memang dari segi norma, agama, dan masyarakat, mereka absolut menentang hal itu walaupun di tengah2 cerita sempat menyinggung “cinta yg tidak memilih”

    Kalau ini novel barat mah pasti endingnya mereka bakal jadian karena mengatasnamakan cinta 🙂

    – Utie

    Like

Silahkan Berkomentar