Ketika seseorang yang kita sayangi pergi, bukan berarti dia benar-benar pergi. Sebenarnya dia tetap ada disini, selamanya dia akan tetap memiliki tempat tersendiri, dihati.
Pagi selalu menabjubkan dengan segala kejutannya. Bagaimana tidak? Ketika kalian bangun, menggeliatkan badan, menggaruk kepala yang gatal bekas bantal, kemudian samar-samar mendengar rintik hujan. Suaranya perlahan kemudian menderas. Hilang sudah kabut tipis diantara adzan subuh, lenyap semua embun yang setia menggantung dipucuk-pucuk daun, dan sepi suara kicauan pagi yang merdu membuat syahdu. Kita tidak pernah tau seperti apa kejutan pagi yang akan terjadi.
Pagi itu, hujan seperti mengantarkan pesan rindu yang sendu. Satu per satu rintiknya turun dramatis dan magis. Tiap tetesnya seakan mewakili air setiap bola mata. Namun sayangnya, aku tidak terlalu peka dengan pertanda alam semesta.
Ini bukan tentang firasat, karena aku tidak merasakan apa-apa. Ini tentang seorang sahabat yang tidak akan kembali selamanya. Memilih tidur dalam waktu yang panjang, yang tidak pernah tau akan terbangun kapan.
Seperti pagi yang selalu memberi kejutan. Siang pun memilih untuk menggetarkan setiap bibir hingga menangis, menelikung hati yang tak pernah siap, membisikkan kabar langit yang membuat siapapun tak ingin percaya.
Seorang sahabat baik, bahkan teramat baik, hari itu kembali. Allah terlalu menyayanginya, mencintai dia lebih dari aku mencintainya. Dan ingin dia berada disisiNya.
Seperti pagi yang kicau burungnya bersautan ditiap gulungan awan. Sore pun mengambil alih perannya. Memecah tangis yang selama ini tersimpan rapi. Airmata sudah seperti banjir yang tiba-tiba datang, menggenang, menyesakkan hati , memilukan.
Sahabatku, sore itu pergi. Dia memilih untuk memenuhi panggilan Sang Maha Memiliki, tidak pernah kembali lagi.
Ini adalah bagian paling menyakitkan. Mendengar sebuah kabar kepergian seorang sahabat tersayang. Seandainya kalian bisa membayangkan, dua minggu lalu, kami masih saling menyapa melalui telepon genggam, mencurahkan isi hati terdalam. Semuanya terlihat wajar, tidak ada yang berbeda, atau aku saja yang tidak peka?
Ini memang bukan tentang firasat. Ini tentang sahabat yang tidak pergi untuk kembali. Yang tidak akan lagi kulihat senyumnya, tidak akan lagi kudengar tawanya. Aku kehilangan dia. Selamanya.
Andai aku tau dia sakit sebelumnya, mungkin aku bisa bersama dia didetik-detik terakhirnya. Menemani dia merasakan sakit yang dia derita. Memeluknya, dan mengatakan semua akan baik-baik saja.
Sayangnya aku tidak mendengar alam yang berbahasa. Hujan pagi itu adalah pertanda. Dalam tiap rintiknya terselip kabar duka yang menyublim kenangan. Kemudian aku baru sadar, dia pergi dan tak kan kembali lagi.
Dian Putri Puspitasari, sahabatku tersayang. Selamat jalan…
Kamu ingat tidak? Kita selalu menyukai apapun yang melekat pada Soe Hok Gie, termasuk puisinya tentang kematian.
“Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda”
Aku selalu ingat semua cerita tentang kita. Kemana saja kita pernah menjejak kaki bersama, tertawa, bercanda, bercerita, terluka, bahkan mengejar mimpi bersama. Terimakasih atas waktu yang pernah kita lalui bersama. Tidak ada sahabat terbaik selain kamu.
Aku menyukai kata-katamu tentang kehilangan. Katamu, kita tidak akan pernah siap menghadapi kehilangan. Meskipun kita sudah jelas tau tentang hal itu, namun ketika moment kehilangan tersebut datang, semua akan tetap terasa menyakitkan.
Benar Mon, kehilangan memang selalu menyakitkan, seperti apapun bentuknya. Dan kehilangan kamu adalah bagian paling menyakitkan yang harus aku terima sekarang.
Aku mecintaimu dan sayang sama kamu. Tapi Allah lebih sayang kamu. Lelaplah dalam tidurmu yang panjang, semoga Allah memberi tempat terbaik disana. Tenang disana ya, Sayang….
“Aku pun sadari, kau tak kan kembali lagi…“