Beberapa hari ini timeline Facebook saya dipenuhi dengan tautan-tautan yang dishare banyak teman soal melahirkan Caesar ataupun normal. Namanya juga media sosial, siapapun bebas berpendapat termasuk berpendapat soal mana yang lebih hebat, melahirkan secara normal atau caesar.
Duhhh, gemes rasanya saya. Apa pula pentingnya ibuk-ibuk ini nge-share demikian? Kenapa pula harus mainan hebat-hebatan? Bukankah semua ibu itu hebat? Mau melahirkan normal atau saecar semua sama hebatnya. Nggak perlu sombong, pongah, atau apalah itu namanya.
Saya ibu satu anak yang sedang mengandung anak kedua sekarang. Saya melahirkan anak pertama saya dengan cara normal. If you only knew, kalau saya ditanya “Gimana sih rasanya melahirkan normal?” akan saya jawab sakitnya Allah Akbar. Terserah orang mau bilang saya adalah orang yang manja nggak tahan sakit and the braw and the braw and the braw, terserah. Yang jelas pengalaman melahirkan anak pertama saya itu sakitnya luarrrrrr biasa. Terlebih waktu itu saya diinduksi. Kalian tau, ketika rasa sakit melahirkan yang kata orang cuma mules-mules itu datang, yang terpikir dalam benak saya, Ya Allah apa sakitnya sakaratul maut itu seperti ini? Sakit sekali. Meronta sekuat apapun sakitnya tidak akan berkurang. Bayangkan waktu itu saya harus mengalami kesakitan semalaman. Saya berkali-kali bertanya jam pada suami saya, untuk apa? Untuk memastikan waktu segera pagi, itu artinya rasa sakit pembukaan itu akan segera berakhir dan saya akan segera melahirkan, meski saya waktu itu tidak tau akan melahirkan jam berapa.
Akhirnya pagi menjelang, tapi apakah rasa sakit saya lalu hilang? bidan memeriksa saya lagi, teryata masih bukaan 3. MasyaAllah, sesakit itu semalaman masih bukaan 3? Itu artinya masih ada 7 bukaan lagi? Lalu bidan memutuskan untuk meng-induksi saya karena air ketuban dalam perut sudah berwarna hijau. Dan kalian tau rasanya? berkali-kali lipat sakitnya jika dibandingkan yang semalam. Saat itulah saya berpikir soal sakaratul maut. Saya sudah berpikir nggak ada yang bisa nolongin saya mengurangi rasa sakit ini. Akhirnya saya cuma bisa teriak takbir Dan istighfar sekeras-kerasnya. Karena saat itulah saya sadar manusia hanyalah selemah-lemahnya makhluk yang tidak bisa apa-apa tanpa campur tangan Allah. Semakin sakit semakin keras teriakan saya. Kaos suami saya sudah nggak tau seperti apa. Saya remas sekuat-kuatnya. Alhamdulillah, jam 9 pagi anak saya lahir, Dan selesai sudah rasa sakit itu.
Lalu apa saya termasuk ibu hebat? Tunggu dulu
Saya memang tidak pernah punya pengalaman saecar, dan semoga persalinan yang kedua saya bisa normal. Bukan karena apa-apa, tapi karena lebih murah. Hehe. Menurut cerita teman-teman saya yang melahirkan secara saecar, proses persalinan ini juga menyakitkan. Sekarang ya logikanya sesuatu yang utuh kemudian dibelah, apa iya tidak sakit? Sakitlah. Meski pasien dibius ketika operasi, lalu apa setelahnya tidak ada rasa kreyeng-kreyeng sakit? Kalo melahirkan normal, setelah lahiran boleh langsung makan Dan minum. Nah saecar? harus nunggu sampai buang angin dulu baru boleh makan Dan minum. Kemudian belajar duduk, belajar jalan. Apa itu tidak menyakitkan? Dengan kondisi Luka bekas jahitan diperut, si ibu harus sudah belajar duduk, jalan, gendong bayi. Apa nggak hebat?
Lalu Mana yang lebih hebat? SAMA.
semua ibu itu HEBAT. Bahkan para calon ibu yang belum dikaruniai anak, mereka adalah wanita-wanita hebat. Bagaimana tidak? Kesabaran mereka menunggu sang buah hati, kesabaran mereka berusaha melalui program-program hamil, kesabaran mereka menghadapi orang-orang yang suka nyinyir luar biasa soal kehamilan. Menghadapi orang-orang yang sok peduli bertanya, “kapan punya momongan?” Mereka itu hebat. Termasuk para ibu yang mengadopsi anak. Mereka juga hebat. Mereka mampu memberikan kasih sayang seluas-luasnya untuk anak yang meski bukan anak mereka sendiri.
Heiiii, lalu siapa yang lebih hebat disini? Ya semua sama-sama hebatnya. Sama-sama berjuangnya. Lalu buat apa saling mainan hebat-hebatan?