Mengerti – Dimengeri, Memahami – Dipahami


Mengerti-dimengerti, memahami-dipahami.
“it should be a simbiosis mutualisme, but unfortunately it’s just words called “should be”.”

Saya tidak tau siapa yang salah dan siapa yang benar. Semua orang pastinya ingin dipahami dan dimengerti, tapi kadang orang lupa untuk mengerti dan memahami. Saya nggak bilang kalau saya sudah memahami dan mengerti, atau dipahami dan memahami, tapi gimana ya…

Jadi begini narablog sekalian…

Saya baru dua kali ini bekerja. Dan ditempat kerja saya yang kedua ini, rasa-rasanya semuanya aneh. Ya kantornya, ya karyawannya (nah lho, termasuk saya donk). Hehehe, ya nggak donkkkk…

Saya bekerja di sebuah kantor yang bergerak dibidang jasa. Yang memang sih saya akui, jam kerjanya kadang nggak manusiawi. Seperti ketika Bulan puasa kemarin, satu bulan full tidak ada libur, tanggal merah harus masuk. Dan saya juga nggak tau bagaimana perhitungan lemburnya apakah sudah benar atau belum. Karena saya nggak tau, jadi ya sudah anggaplah sudah benar, kalau memang itu hak saya dan nggak dikasihkan, berarti uangnya nggak barokah buat itu kantor. Kadang ada yang sudah masuk shift pagi, ternyata dia harus lembur sampe malem, dan harus mau. Ya itu memang resiko. Entah lagi, lemburnya dihitung dengan benar atau tidak. Saya juga nggak terima kalau diperlakukan seperti itu, atau ada teman sekantor yang diperlakukan begitu. Nggak adil sekali rasanya. Ini kantor apa sih, nggak bener banget.

Tapi disisi lain, ketika memang ini kantor bener-bener butuh bantuan, saya sebagai manusia biasa, saya juga kasian. Misalnya nih seperti hari ini, anak yang harusnya pulang shift malem ternyata dia harus keluar kota karena urusan kantor, dan pulangnya pasti di atas jam 10 malem. Nah, giliran orang-orang dikantor yang ribut, siapa yang harus pulang malem. Sampailah pada keputusan, ya udah saya aja yang pulang malem, saya ngalah. Karena bagi saya, kasian banget ini kantor kalo harus tutup padahal belum jamnya. Meskipun kemudian, ada seorang teman saya yang diperintahkan untuk lembur sampe kantor tutup.

Nahhhh, inilah yang saya tanyakah di bagian awal. Mengerti dan dimengerti, memahami dan dipahami. Which one we must choose?

Saya akan menolak jika itu bersangkutan dengan keyakinan saya. Saya benar-benar nggak mau melakukan, kalau itu bertolakbelakang dengan keyakinan. Tapi kalau masalah jam kerja yang memang amburadul, saya masih mau memahami dengan kalimat “ya sudah ndak papa, aku aja”. Tapi kan juga nggak bisa terus-terusan begitu. Jika ada yang mengerti  dan memahami dengan keadaan kantor, harusnya dia juga butuh dimengerti dan dipahami.

Saya tidak menyalahkan teman kantor saya ataupun kantor saya. Saya hanya ingin, ‘sadar sendiri-sendiri donk, ini kantor kenapa sih nggak berbenah. Dan kenapa sih ini anak-anak pada ngeluh terus, ngeluh ya ngeluh aja, tapi dikerjain yang bener.’

Saya emang bukan nggak pernah ngeluh, saya juga ngeluh masalah gaji, jam kerja, kantor, dan lainnya. Tapi at least, I still do what I must do, tanggungjawab. Kecuali yang bertentangan dengan keyakinan, saya nggak akan pernah melakukannya dengan sepenuh hati, dan pasti ngasal.

Jadi siapa yang harus mengerti dan dimengerti? Harusnya saling kan?

Ya Allah, segerakanlah saya bekerja ditempat lain yang lebih baik gaji, jam kerja, manajemen, dan semuanya. Amin.

Mengerti-dimengerti, memahami-dipahami.
“it should be a simbiosis mutualisme, but unfortunately it’s just words called “should be”.