Kekinian Subjektif


Memberi untuk dilihat, tapi tidak untuk dipikirkan..
Mengulurkan tangan, bicara pada tentangga, minta maaf pada musuh..
Hidup yang seharusnya bukan ide-ide

Meninggalkan jejak

Bergema dalam gua intim dalam segala hal, seperti kita bergumul dengan kekacauan; untuk kali ini..

Mungkin dia benar, tiap roda ikut dalam harmoni pergerakan, kerikil kecil dapat menghasilkan revolusi hidup yang besar. Sebuah senyum LEBIH BAIK DARI SEBUAH PERATURAN. Dia berbicara mengenai kekinian subjektif.

Antara kami, bukankah dia yang selalu benar pada akhirnya?

 

Repost dari Hendra Eka Syahputra [Photograper Jawa Pos]
dari Blog www.echak.multiply.com

 ***

Sebenarnya tidak semua kata-kata yang ditulis oleh Mas Hendra Eka di atas saya mengerti. Namun saya selalu suka dengan diksinya. Karena itu saya repost dua kali dalam blog saya. Multiply tentu sudah tutup saat ini, namun untungnya saya sudah merepost tulisan dalam blog saya sebelumnya.

Kerikil kecil dapat menghasilkan revolusi hidup yang besar.
Sebuah senyum LEBIH BAIK DARI SEBUAH PERATURAN”

Dari awal membaca tulisan ini. Saya sangat setuju dengan dua kalimat itu. Bahwa hal paling kecil dalam hidup yang pernah kita lakukan atau yang kita alami, bisa saja membuat sebuah perubahan yang begitu berarti dalam hidup. Dan selalu tersenyum menghadapi semua hal adalah penting dibanding membuat peraturan-peraturan yang kadang tidak masuk akal.

Ketika Hati Bicara


Karena suatu saat, kita akan bertemu tanpa diduga, tanpa dinyana. Seperti sebuah kebetulan yang terencana, mungkin berkelok, curam, tajam, namun berakhir manis dan indahnya.

Ketika hati telah memilih, dan bertebaran restu Ilahi. Maka apapun bisa saja terjadi. Tidak ada satupun di dunia ini yang mampu menghalangi. Pertemuan dua hati yang memang sudah dituliskan bersatu janji.

Tak perlu berlarik-larik puisi, tidak pula nada lagu cinta yang menarik hati. Ketika memang sudah dituliskan terjadi, maka semua akan berjalan sempurna sendiri. Karena ada skenario yang sudah sejak kita lahir tertulis rapi, kita cukup berpasrah diri. Karena semuanya akan datang pada saatnya nanti.

Ketika hati telah bicara, dan Allah tunjukkan kuasa-Nya. Maka semoga Allah cepat mempertemukan kita. Saya memang tidak pernah tau kamu dimana dan siapa. Tapi kamu telah menjadi bagian dari hidup masa depan saya, ketika masanya tiba.

Romantisme Penanjakan Bromo


Semakin malam beranjak naik, Dingin Bromo semakin memeluk kami erat. Tidur hanya sebuah syarat yang harus dilalui sembari menunggu pagi. Karena nyatanya tidak ada yang benar-benar terlelap bersama mimpi. Hanya memejamkan mata yang lelah, itu saja. Selebihnya, kami masih sadar sepenuhnya.

Pukul 3 dini hari, dengan mengenakan pakaian lengkap mulai dari ujung kepala hingga kaki, kami memulai perjalanan menyenangkan sesungguhnya, seperti yang saya tulis pada posting sebelumnya.  Untuk mencapai puncak Bromo, kami harus menyewa Jeep yang berisi maksimal 6 orang penumpang, dengan harga Rp 875.000,- untuk 4 lokasi wisata di Bromo.

Kami kembali disambut dengan jalan tikungan terjal berliku yang menakutkan. Namun lagi-lagi saya mengatakan, jalan terjal berliku itu hanyalah syarat yang harus dilalui untuk mencapai puncak Bromo dengan janji cantiknya matahari terbit. Sempat terbersit pemikiran, perjanalan ke Bromo ini seperti jalan kehidupan saja, yang harus dilalui dengan penuh usaha keras untuk sampai dipuncaknya. Maka, usaha keras hanyalah syarat yang harus dilalui untuk mencapai kesuksesan dengan janji kehidupan yang lebih baik.

Bukan berarti berangkat lebih awal membuat puncak Bromo masih sepi. Sesampainya di sana, sudah banyak Jeep yang memenuhi jalur penanjakkan. Orang-orang, meski masih sepagi itu, sudah riuh tertawa, berteriak, dan lainnya. Sepeda motor saling berebut untuk naik ke atas terlebih dahulu. Sungguh pemandangan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya di tempat tinggal saya. Senang melihatnya.

Rintik gerimis pun turun tanpa undangan, saya dan lima kawan saya melangkah mantab mulai menapaki jalur penanjakkan. Dataran tinggi membuat saya harus mengeluarkan tenaga lebih untuk berjalan, namun semua itu tidak terasa karena di sana, semua orang melangkah dengan penuh sukacita, tawa, bahagia.

Sebenarnya gerimis yang menetes di awal tadi sudah menjadi firasat buruk. Karena bisa jadi matahari akan malu-malu untuk muncul kepermukaan, dan lebih memilih tenggelam dibalik awan mendung yang menggantung. Dan benar adanya. Matahari benar-benar malu memperlihatkan cahaya cantiknya dan enggan memberikan hangat sinarnya pagi itu.

IMG_1814

Kecewa? Mungkin. Namun saya tidak dibuat kecewa hanya karena matahari gagal tampil pagi itu. Show must goes on. Tidak ada matahari, lampu pun jadi. Dan saya pun berfoto dibalik gelapnya subuh di depan sebuah gedung tinggi dengan lampu kuning. Alhasil, saya pun mendapatkan foto siluet diri saya dengan sorot cahaya lampu dihadapan matahari yang malu-malu.

Namun semua itu terbayar ketika saya memutuskan untuk turun, mencari pesona Bromo yang saya yakin tidak hanya dimiliki oleh matahari yang lebih memilih bersembunyi dibalik awan itu. Bromo, setiap jengkalnya ada pesona, setiap sudutnya adalah jurang keindahan dari Sang Maha Pencipta. Kabut putih yang turun pelan-pelan disana, membuat suasana pagi menjadi amat romantis dan dramatis.

_MG_1899

Ada rindu di Bromo, ada seseorang yang setahun lalu juga menginjakkan kakinya di Bromo. Dan kini saya pun merasakan dingin yang sama dengan dia waktu itu.

_MG_1865

Sejenak saya melihat sekeliling yang kini mulai diterangi cahaya pagi. Terdiam. Dan sungguh biarkan saya mengucapkan syukur kepada Sang Maha Kuasa atas segala sesuatunya di alam semesta. Nafas saya tertahan, terimakasih ya Allah sudah menciptakan alam semesta seindah ini. Alam yang masih bisa menenangkan ketika melihatnya, langit yang terasa begitu lapang ketika mememandangnya, dan tentram ketika kita memejamkan mata.

IMG_1912

Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan? Penanjakan Bromo dan segenap yang melingkupi keindahannya adalah sedikit dari sekian bukti bahwa Allah adalah Maha Baik.