Museum Angkut, Masa Lalu Yang Tak Tertinggal


“Akankah kita seperti mereka? Menikmati perubahan, meninggalkan masa lalu yang suram, menjadikannya pelajaran, dan berganti menjadi seseorang yang lebih baik adanya.”

 

Entah siapa orang pertama yang mencetuskan untuk mendirikan tempat wisata se-menarik ini. Museum, jika dibayangkan, hanya tempat biasa. Kumpulan benda-benda tua membosankan yang diabadikan karena sejarahnya yang mendunia. Benda-benda dari masa lalu yang kini hanya menjadi sebuah cerita , diam tak bergerak, cukup menjadi tontonan saja.

Mereka menyebutnya, Museum Angkut.

Terletak di kota dingin yang kini tinggal kenangan. Batu, tak sedingin dulu. Ada yang berubah, ada yang berbeda. Semakin meninggi matahari, semakin menyengat panasnya. Membuat siapa pun yang berada dibawahnya mengerutkan dahi, menggigit bibir, mendesah resah karena lamanya antrian.

Namun wajah-wajah resah diluar sana akan segera berganti wajah yang buncah bahagia kala kaki mulai menapaki lantai pertama museum. Puluhan alat angkut dari seluruh pelosok dunia menggoda untuk dikagumi. Seakan mengatakan, merekalah masa lalu yang tak pernah hilang. Terpajang eksotik menggelitik, menepis rentang zaman yang makin hari makin tidak dapat dimengerti.

angkut2-small

Mereka adalah awal adanya perubahan.

Tak hanya menarik untuk dilirik. Puluhan alat angkut itu terus merayu untuk diabadikan. Dan tentu tak jarang, muda-mudi bergantian bergaya bak model tingkat dunia di depan mobil istimewa milik negara atau mungkin berpose di depan anggunnya kereta kencana.

Aku yakin, maksud berdirinya museum ini tentu bukan karena mobil-mobil ini ingin diabadikan dalam lensa-lensa mahal yang sudah seperti berterbangan saja disana. Mungkin pemilik tempat ini menginginkan pengunjungnya mau lebih menghargai. Menghargai siapa? Menghargai masa lalu tentunya. Bahwa masa lalu tentu bukan untuk dilupakan, tapi lihatlah mereka jauh dibelakang, untuk dijadikan pelajaran yang tak tertinggalkan, menuju sebuah perubahan.

angkut3-small

Bukankah semua alat angkut ini adalah saksi awal sebuah perubahan. Sejarah tentang alat angkut yang tentu tidak akan pernah hilang. Mobil-mobi tanpa pintu dengan setir kayu, motor-motor bermesin yang tempat duduknya saja jauh dari nyaman. Mereka adalah awal dari segala bentuk alat angkut masa kini yang bisa dengan mudah kita jumpai.

Kemudian terlintas dalam pikirku, akankah kita seperti mereka? Menikmati perubahan, meninggalkan masa lalu yang suram, menjadikannya pelajaran, dan berganti menjadi seseorang yang lebih baik adanya. Atau kita tetap mau menjadi seperti itu-itu saja, Masa lalu tentu tidak akan pernah hilang, dia akan selalu menjadi kenangan, namun posisinya pastika berada dibelakang.

Seperti museum. Nikmati perubahannya, letakkan masa lalu dalam sebuah kotak kaca yang bisa setiap saat kita pandangi, kemudian tertawa karena sebuah ketidaksempurnaan yang sudah berada jauh dibelakang, dan hanya untuk dikenang.

Menanti Pasir Yang Berbisik


Matahari sudah setengah meninggi, namun dingin masih tetap setia menyelimuti. Saya berusaha menggerak-gerakkan tubuh agar tidak terasa dingin, karena sebentar saja kaki ini berhenti melangkah, maka dingin akan segera menyergap hingga ke dalam pori-pori. Maka pakaian tebal tetap menjadi pilihan yang paling nyaman untuk dikenakan sepanjang hari.

Akhirnya saya sampai di sebuah padang yang amat luas, tidak ada penghalang, tidak berbatas. Tiba-tiba saya merasa menjadi amat kecil ketika menghempaskan kaki turun dari jeep. Jangankan tumbuhan, batu pun hanya terlihat satu atau dua, mungkin tiga.

IMG_2062

Tempat ini, meski tanpa tumbuhan dan bebatuan khas pegunungan, namun tetap menyimpan eksotisme keindahan alam. Hanya pasir yang terlihat sejauh mata memandang dengan langit yang setia bernaung di atasnya. Kata orang ini adalah padang pasir Bromo yang mampu berbisik.

Entah apa yang pernah dibisikkan pasir-pasir ini kepada yang para penceritanya. Anggaplah ini adalah kunjungan pertama saya ke Surga Dunia milik Allah ini, dan sedari tadi saya tidak mendengar sedikit pun pasir-pasir ini berbisik selamat datang, atau pun bertanya kabar. Jadi sungguhkah pasir-pasir ini mampu berbisik? Saya penasaran sekali.

IMG_6746

Lama saya berdiri di sana, diantara pasir yang berterbangan terbawa angin. Mana? Mana ada pasir yang berbisik? Kali ini saya mencoba untuk berjongkok, mencoba berjarak leibih dekat dengan pasir-pasir yang enggan membisikkan selamat datang itu. Saya mencoba diam, menyiapkan telinga paling peka yang pernah ada, menyiapkan hati jika benar-benar pasir-pasir ini membisikkan kata mesra kemudian.

Beberapa detik saya terdiam, membiarkan kawan saya lainnya sibuk dengan pose-pose paling menawan mereka di depan kamera. Saya benar-benar menunggu pasir yang berbisik diantara angin Bromo yang bertiup semilir menyentuhi kulit. Dan ya… saya mendengarnya. Pasir-pasir itu baru saja berbisik. Pasir-pasir Bromo yang sungguh berbisik bersama angin yang membawanya menari diantara dingin. Mereka menyapa saya.

Saya bukan gila. Pasir-pasir itu memang seakan berbisik, bagaimana bisikannya? Susah jika harus digambarkan. Namun saya yakin anginlah yang memaksa pasir-pasir itu membisikkan selamat datang kepada siapa pun yang menjejakkan kaki di sana, berbisik sampai jumpa lagi ketika pengunjung mulai beranjak pergi. Mungkin itu yang dikatakan pasir-pasir itu. Iya kah? Entah. Tapi berimajinasi saja. Lagi pula, berimajinasi itu menyenangkan. Anggaplah bisikkan-bisikkan pasir itu karena menyambut kita, meski sebenarnya hanya karena angin, bergesekkan, dan akhirnya saling berbisik satu sama lain.

Pasir berbisik. Iya, begitulah para pencerita itu menyebutnya. Dan hari itu saya menanti pasir-pasir itu berbisik. Mungkin saja, diantara sekian pasir di padang itu, ada yang tiba-tiba membisikkan namanya. Dia yang setahun lalu juga berada di sini. Menyapa pasir-pasir yang menari bersama angin, meninggalkan namanya yang kemudian akan disampaikan pada saya suatu hari lewat pasir yang berbisik. Karena saya sempat menitipkan bisik pada pasir-pasir di sana, “Hei, jika dia suatu saat kembali ke sini, tolong bisikkan namaku ditelinganya. Terimakasih.

IMG_6745

Romantisme Penanjakan Bromo


Semakin malam beranjak naik, Dingin Bromo semakin memeluk kami erat. Tidur hanya sebuah syarat yang harus dilalui sembari menunggu pagi. Karena nyatanya tidak ada yang benar-benar terlelap bersama mimpi. Hanya memejamkan mata yang lelah, itu saja. Selebihnya, kami masih sadar sepenuhnya.

Pukul 3 dini hari, dengan mengenakan pakaian lengkap mulai dari ujung kepala hingga kaki, kami memulai perjalanan menyenangkan sesungguhnya, seperti yang saya tulis pada posting sebelumnya.  Untuk mencapai puncak Bromo, kami harus menyewa Jeep yang berisi maksimal 6 orang penumpang, dengan harga Rp 875.000,- untuk 4 lokasi wisata di Bromo.

Kami kembali disambut dengan jalan tikungan terjal berliku yang menakutkan. Namun lagi-lagi saya mengatakan, jalan terjal berliku itu hanyalah syarat yang harus dilalui untuk mencapai puncak Bromo dengan janji cantiknya matahari terbit. Sempat terbersit pemikiran, perjanalan ke Bromo ini seperti jalan kehidupan saja, yang harus dilalui dengan penuh usaha keras untuk sampai dipuncaknya. Maka, usaha keras hanyalah syarat yang harus dilalui untuk mencapai kesuksesan dengan janji kehidupan yang lebih baik.

Bukan berarti berangkat lebih awal membuat puncak Bromo masih sepi. Sesampainya di sana, sudah banyak Jeep yang memenuhi jalur penanjakkan. Orang-orang, meski masih sepagi itu, sudah riuh tertawa, berteriak, dan lainnya. Sepeda motor saling berebut untuk naik ke atas terlebih dahulu. Sungguh pemandangan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya di tempat tinggal saya. Senang melihatnya.

Rintik gerimis pun turun tanpa undangan, saya dan lima kawan saya melangkah mantab mulai menapaki jalur penanjakkan. Dataran tinggi membuat saya harus mengeluarkan tenaga lebih untuk berjalan, namun semua itu tidak terasa karena di sana, semua orang melangkah dengan penuh sukacita, tawa, bahagia.

Sebenarnya gerimis yang menetes di awal tadi sudah menjadi firasat buruk. Karena bisa jadi matahari akan malu-malu untuk muncul kepermukaan, dan lebih memilih tenggelam dibalik awan mendung yang menggantung. Dan benar adanya. Matahari benar-benar malu memperlihatkan cahaya cantiknya dan enggan memberikan hangat sinarnya pagi itu.

IMG_1814

Kecewa? Mungkin. Namun saya tidak dibuat kecewa hanya karena matahari gagal tampil pagi itu. Show must goes on. Tidak ada matahari, lampu pun jadi. Dan saya pun berfoto dibalik gelapnya subuh di depan sebuah gedung tinggi dengan lampu kuning. Alhasil, saya pun mendapatkan foto siluet diri saya dengan sorot cahaya lampu dihadapan matahari yang malu-malu.

Namun semua itu terbayar ketika saya memutuskan untuk turun, mencari pesona Bromo yang saya yakin tidak hanya dimiliki oleh matahari yang lebih memilih bersembunyi dibalik awan itu. Bromo, setiap jengkalnya ada pesona, setiap sudutnya adalah jurang keindahan dari Sang Maha Pencipta. Kabut putih yang turun pelan-pelan disana, membuat suasana pagi menjadi amat romantis dan dramatis.

_MG_1899

Ada rindu di Bromo, ada seseorang yang setahun lalu juga menginjakkan kakinya di Bromo. Dan kini saya pun merasakan dingin yang sama dengan dia waktu itu.

_MG_1865

Sejenak saya melihat sekeliling yang kini mulai diterangi cahaya pagi. Terdiam. Dan sungguh biarkan saya mengucapkan syukur kepada Sang Maha Kuasa atas segala sesuatunya di alam semesta. Nafas saya tertahan, terimakasih ya Allah sudah menciptakan alam semesta seindah ini. Alam yang masih bisa menenangkan ketika melihatnya, langit yang terasa begitu lapang ketika mememandangnya, dan tentram ketika kita memejamkan mata.

IMG_1912

Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan? Penanjakan Bromo dan segenap yang melingkupi keindahannya adalah sedikit dari sekian bukti bahwa Allah adalah Maha Baik.