Selamat Siang, Narablog. Apa kabar? Semoga semuanya selalu dalam keadaan sehat wal afiat, ya. Aamiin.
Narablog ada yang pernah nyobain Go-Jek? HHmmm… maksud saya mencoba menggunakan jasa kurir atau antar PT Go-Jek Indonesia, bukan nyobain abang gojek nya. Hehehehe.
Saya pernah. Sekitar sebulan lalu.
Sore itu saya terpaksa menggunakan jasa gojek untuk pulang setelah seharian lelah di kantor. Suami saya yang memesankan bapak gojek untuk saya. Waktu itu harganya masih Rp 10.000,-. Seperti biasa, saya suka kepo kalo lagi naik angkutan umum yang bersifat personal seperti itu, taxi, misalnya. Saya suka sekali tanya-tanya tentang si pengemudi. Mulai dari pekerjaannya, rumahnya, yang kemudian sampailah pada sesi pak pengemudi itu akan menceritakan segala sesuatu nya sendiri tanpa diminta.
Begitu pula dengan bapak gojek yang saya carter sore itu.
Awalnya saya hanya bertanya, “Pak, kok nggak pake jaket dan helm-nya Gojek?” Karena memang waktu itu, bapak gojek yang saya pesan tidak menggunakan helm dan jaket hijau khas Gojek. Tidak disangka-sangka. Pak Gojek sore itu ternyata orang yang suka ngobrol. Akhirnya dia menceritakan banyak hal tentang apa pekerjaan dia sebenarnya. berapa penghasilan ng-gojeknya, dimana rumahnya, dan masih banyak lagi.
Dari cerita bapak gojek itulah, saya menyimpulkan bahwa ng-gojek tidak selamanya indah.
PENGHASILAN GOJEK BISA Rp 300.000 PER HARI?
Mungkin iya. Saya percaya betul dengan rumor bahwa sehari Ng-Gojek bisa mencapai angka penghasilan Rp 300.000, tapi menurut saya hal tersebut mungkin saja terjadi ketika Gojek baru pertama kali dikenalkan dan belum banyak dikenal. Sehingga yang meng-apply panggilan jasa hanya tukang gojek itu-itu saja, makanya penghasilannya sehari bisa mencapai Rp 300.000.
Pantas saja, kalau kemudian banyak yang berpikir bahwa Ng-Gojek bisa menjadi kerjaan sampingan yang menjanjikan. Buktinya pendaftaran Gojek (waktu itu) di Jakarta, sudah seperti orang daftar CPNS, buanyakkkk banget. Suami saya saja sempat tergiur untuk meng-gojek-kan dirinya. Tapi saya larang, saya takut dia capek. Saya terlalu mencintainya, dan nggak tega kalo dia kecapekan. Ciyeeeeeee… hihihi
Baiklah, kembali ke Ng-gojek. Dari cerita menggiurkan tentang penghasilan Rp 300.000 per hari itu, seketika cerita merdu itu tergilas dengan cerita sebenarnya Bapak Gojek yang saya sewa waktu itu. Saking banyaknya pendaftar pengemudi Gojek, sampai-sampai Bapak Gojek tersebut belum mendapatkan jaket dan helm khas Gojek sampai 1 bulan lebih. Terlebih lagi tentang Rp 300.000 per hari itu, Bapak Gojek sore itu mengaku sebulan ini dia baru mendapatkan Rp 174.000. Hal ini terjadi karena banyaknya driver gojek yang mangkal di daerah yang sama, sehingga untuk confirm panggilan gojek harus cepet-cepetan.
Uang Rp 174.000 itu pun belum terpotong karena telat mengirimkan makanan. Jadi menurut Pak Gojek, ketika ada yang memesan Gojek Kurir, terjadilah double confirm yang mengakibatkan ada 2 Driver Gojek yang mengantar makanan ke tempat yang sama. Karena bapak tadi kalah cepat, jadi dia tidak mendapat pengganti uang. Rejeki dia, makanan pesanan client, dimakan sendiri. Disyukuri saja.
See, ternyata Ng-Gojek tidak selamanya indah, kan? Ada lelah dan bahagianya.
Begitu kan semua pekerjaan? Ada yang sangat lelah entah kapan bahagianya, ada yang lelah kemudian bahagia, ada yang bahagia terus. Hahaha. Disyukuri saja.
Tapi semakin luas peredaran Gojek, insyaAllah bisa membantu banyak orang, termasuk membantu ekonomi Driver Gojek, meski kabarnya tarif Rp 10.000 itu sudah naik menjadi Rp 15.000.
Narablog, ada yang Ng-Gojek?