Hening

“Selamat Pagi, Mbak Annisa.” Sapa dia pagi ini.

Dia, lelaki yang ramah meski pendiam. Senyumnya selalu mewarnai tiap langkah kemanapun dia pergi. Masuk kantor, keluar kantor, istirahat siang. Senyum dan sapa sudah melekat erat pada sosoknya. Tidak tampan, namun ada energi positif yang memancar deras dari wajahnya, dan itu selalu menyenangkan bagi siapapun yang memandang.

Termasuk aku. Kadang aku membayangkan dia menjadi suamiku kelak. Pasti menyenangkan punya suami dengan wajah yang selalu berseri setiap hari, pikirku. Tersenyum. Menggelengkan kepala. Ada-ada saja aku ini. Dia kan hanya menyapa, lalu apanya yang spesial. Tapi seandainya Tuhan menghendaki, aku tidak akan menolaknya, justru aku berterimakasih.

Kalian tau, dari situ ada sedikit harap tertanam. Harapan semoga dia menjadi suamiku kelak. Semoga Tuhan menghendakinya.

“Nissa, kamu nggak istirahat?” tanya Dian, teman kantorku yang duduk tepat di depanku.

“Nanti dulu, ah”

“Tumben? Nunggu apa kamu?”

“Hmmmm” jawabku malu-malu. “Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?!”

Dian mengangguk.

“Nungguin Mas Rangga. Siapa tau habis ini dia turun, terus ngajakin aku makan siang.” Jawabku panjang dengan mata berbinar dan bibir tersenyum lebar.

“Ha?” Dian nyengir, melotot, keningnya berkerut, dan apalah itu segala bentuk keheranan lainnya.

“Kenapa? Ya kalau dia nggak ngajak, ya udah Nasibbb itu namanya”

“Nis”

“Hmmm”

“Kamu suka Mas Rangga?”

“Hmmmm” Mengerjap-ngerjapkan mata.

“Dia kan……………… ……..   udah punya istri, Nissa.  Anaknya juga udah satu.”

“………………………”

Kemudian hening.  Aku mendadak kenyang.

 

Silahkan Berkomentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s