Harusnya sekarang Ida berada di lantai paling atas kantor, merenung, menyesapi senja, merasakan hangatnya, merindukannya yang sudah pergi menghilang terlalu lama setelah resign. Namun tidak kali ini, rintik gerimis romantis merebut hampir seluruh awan, menguasai rutinitas matahari yang selalu datang menepati janjinya untuk berpendar tenggelam perlahan. Sore ini matahari terpaksa bersembunyi.
Lamunan Ida buyar. AC ruangan kantor berdesing, ada yang menekan tombol off. Bahkan Ida tidak merasa kedinginan meski berada dalam ruang AC dengan keadaan gerimis di luar sana. Ida melamun terlalu lama, terlalu dalam, terlalu sepi didalamnya.
“Mbak Ida, nggak pulang? Yang lain udah pada pulang lho, Mbak.” Seorang Office Boy yang hendak membersihkan ruangan menyapa.
“Iya, habis ini.” Tersenyum. Bergegas membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.
“Mbak Ida nggak datang ke pernikahannya Mas Jamil?”
Hening. Ruangan ini tiba-tiba terasa amat hening. Ida hanya tersenyum. Mematikan komputer, kemudian bergegas keluar ruangan. “Saya pulang dulu ya, Mas. Meja saya nggak usah diberesin, udah beres kok.”
“Hati-hati, Mbak.”
“Yuk” , Jawab Ida singkat, bergegas.
Ida berhitung cepat di dalam lift yang juga dengan cepat meluncur ke loby. Berhitung apa? Berhitung apakah sebaiknya dia datang ke pernikahan Jamil, atau lebih baik dia bergegas pulang, mengistirahatkan badan, pikiran, dan hati.
Dia tetap berhitung di tengah loby, kembali berhitung di parkiran kantor, di atas mobil. Terus berhitung, menimbang. Harus dibelokkan kemana setir ini. Ke arah rumahkah? Ke gedung pernikahankah? Atau ke taman kota? Tempat Ida dan Jamil dulu pernah duduk bersama, kehujanan, lalu berteduh di sana. Atau ke toko buku? Tempat nyaman yang pernah dikunjungi mereka berdua. Atau, pikiran Ida melayang ke sebuah Kebun Raya yang tempatnya cukup jauh dari Kota dia berpijak sekarang. Tempat pertama yang dia dan Jamil kunjungi ketika untuk pertamakalinya mereka pergi berdua.
Pandangan Ida kabur, matanya sudah berair. Cepat sekali semua kenangan itu bermunculan satu per satu. Seperti ada yang usil membuat slide photo-photo tentang mereka. Entah masih dalam kondisi baikkah dia mengendalikan mobil. Entah masih adakah separuh hatinya kini.
Oh Dear, kalian pernah merasakan patah hati? Ketika hati yang sedang jatuh cinta kemudian dilemparkan begitu saja dari ketinggian. Hancur berkeping-keping tak bersisa secuil pun. Tak menyisakan dinding utuh seditik pun. Atau ketika separuh hati kalian tiba-tiba terasa tercabik dan hilang, karena seseorang yang sudah kalian cintai mati-matian ternyata hilang begitu saja, diam seribu bahasa, entah kemana. Seperti itulah Ida sore ini. Dan ketika seseorang itu kembali, hanya untuk mengabarkan bahwa dia akan memiliki hidup yang baru bersama orang lain. Ida benar-benar menangis sekarang. Air matanya sudah tidak bisa ditahan lagi seperti dulu ketika Jamil cuek sekali di depan meja kerjanya.
Mobilnya berhenti tepat di depan gedung pernikahan Jamil sekarang digelar. Cahaya lampu terpancar terang, kemeriahannya terdengar sampai luar gedung, hiasan janur kuning melengkung apik di depan gerbang gedung. Gerimis sudah reda, namun senja tetap tak muncul. Sudah terlambat. Sudah lewat waktu senja. Sore ini senja tidak menepati janjinya untuk berpendar jingga kemudian tenggelam, sore ini senja tidak pernah datang.
Ida? Apa dia akan seperti senja? Tidak usah datang. Mungkin lebih baik tidak pernah datang. Biarlah semuanya berlalu tanpa pesan. Biar semua berakhir tanpa jeda. Hanya titik, lalu habis.
Namun tidak bagi Ida. Dia tidak ingin seperti senja yang tak datang sore ini. Dia tidak akan membuang kesempatan terakhirnya untuk melihat Jamil di depan sana. Dia tidak akan menyia-nyiakan sedikit waktu hari ini untuk menangis sepanjang malam, tanpa menyaksikan Jamil tersenyum bahagia.
Ida melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung. Menguatkan apapun yang dia miliki saat itu. Berdiri di tengah ruangan yang super megah, diantara tamu-tamu yang sedang menyantap hidangan, diantara wewangian melati yang semerbak. Tersenyum menatap Jamil yang betapa bahagianya di depan sana, bersanding dengan wanita pilihannya, bermandikan selamat dari ribuan undangan. Air matanya menetes. Tersenyum.
‘Selamat, Mas Jamil.’ Gumamnya dalam hati,
Kalian tau, dear? Jika memang ada separuh hati kita yang remuk, berdarah-darah, dan hancur sekalipun. Selalu ingat, bahwa kita masih memiliki separuh hati lain yang bisa kita kendalikan, yang bisa kita buat lebih bercahaya, kita buat lebih kuat. Karena dengan begitu, ada perasaan lega yang ada seketika. Dari mana rasa itu? Tentu dari Sang Maha membolak-balikkan hati.
Cerita sedih tapi indah. Tentang ketegaran
LikeLike